Dengan Persiapan yang Baik
Dalam kitab monumentalnya, Ihya’ `Ulumiddin, Imam Al-Ghazali mengisahkan perjalanan seorang alim yang shalih yang sedang menempuh perjalanan haji. Namanya Ali bin Al-Muwaffaq.
Dikisahkan demikian, “Pada suatu malam, tanggal 8 malam 9 Dzulhijjah (malam hari Arafah) ia tertidur di Masjid Al-Khaif Mina. Dalam tidurnya ia bermimpi melihat dua malaikat sedang berdialog. Malaikat yang satu berbicara kepada malaikat yang lain, “Hai teman, tahukah engkau berapa banyak orang yang pergi haji tahun ini?”
Malaikat yang lain menjawab, “Tidak tahu!”
Kemudian temannya tadi memberi tahu bahwa mereka itu jumlahnya mencapai 600.000 jama’ah.
Kemudian ditanya lagi, “Tahukah kamu berapa orang di antara mereka itu yang meraih?”
“Tidak tahu!” jawab temannya.
Kemudian temannya itu menjelaskan bahwa yang meraih haji mabrur hanya enam orang.
Sampai dialog ini, dua malaikat itu pun pergi.
Setelah itu Ali bin Al-Muwaffaq pun terbangun dari tidurnya dengan penuh penasaran, sedih, dan gelisah. Dalam hatinya ia bertanya, “Jika hanya enam orang yang diterima hajinya dari 600.000 jama’ah, apakah aku bisa masuk yang enam orang itu?”
Demikianlah ia terus-menerus merenungkan dan berusaha mencari tahu makna di balik mimpinya itu. Selanjutnya ia berusaha melakukan ibadah hajinya dengan sebaik mungkin agar berhasil masuk dalam kelompok enam yang hajinya mabrur tersebut.
Kisah ini tidak diketahui kapan terjadinya dan seberapa jauh kebenarannya. Tetapi yang jelas, Al-Ghazali, yang dikenal sebagai ulama yang amat termasyhur dan mendapat julukan Hujjatul Islam, telah mencatat dalam kitabnya yang amat monumental dan berpengaruh di kalangan orang-orang yang mendalami masalah-masalah spiritualitas.
Sekurang-kurangnya yang dapat diambil hikmah dari kisah tersebut adalah agar setiap orang yang menunaikan ibadah haji selalu menata dan meluruskan niatnya, melakukan ibadah hajinya dengan baik dan benar serta selalu berusaha dan berdoa agar ibadahnya diterima oleh Allah SWT.
Ya, seorang yang akan menunaikan ibadah haji seharusnya melakukan persiapan lahir dan bathin dengan sebenar-benarnya. Karena, perjalanan haji bukanlah perjalanan wisata, melainkan ibadah multidimensi dalam arti sesungguhnya.
Dalam kitab monumentalnya itu, Al-Ghazali memang secara khusus berbicara panjang lebar tentang ibadah yang istimewa ini. Ia memulai bahasannya tentang haji dengan pembukaan yang bersajak yang menyerupai mukadimah khutbah mimbar.
Dalam khutbahnya, ia mengatakan, “Segala puji bagi Allah, Yang telah menjadikan kalimat tauhid sebagai tempat berlindung dan benteng untuk hemba-Nya, menjadikan Bait Al-`Atiq sebagai tempat yang aman untuk pertemuan (berkumpulnya) manusia, memuliakannya dengan menisbahkannya kepada diri-Nya dengan suatu kemuliaan, penjagaan, dan keamanan. Allah menjadikan ziarah ke tempat itu dan thawaf di sana sebagai penghalang antara seorang hamba dan siksa.
Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, nabi pembawa rahmat dan pemimpin umat. Begitu juga kepada keluarganya dan sekalian sahabatnya sebagai pemimpin-pemimpin kebenaran dan pemuka manusia.”
Setelah mengawalinya dengan pembukaan yang indah, Al-Ghazali pun mulai memasuki pembahasannya yang terperinci dan mendalam tentang ibadah yang sangat istimewa ini.
Allah berfirman dalam surah Al-Hajj, yang artinya, “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS Al-Hajj: 27).
Sedangkan Rasulullah SAW bersabda, “Haji mabrur itu lebih baik daripada dunia dan isinya, dan haji mabrur tidak ada balasannya melainkan surga.”
Pusat pelaksanaan ibadah haji berlangsung di kota Makkah, kota paling suci di muka bumi. Ia negeri Allah yang mulia dan tempat diutusnya Nabi-Nya SAW.
Betapa sangat mulia dan terhormatnya Makkah, sehingga tidak ada suatu negeri pun di mana seseorang akan dihukum walaupun baru berniat (berbuat jahat) dan belum melakukannya kecuali Makkah. Allah SWT mengatakan dalam surah Al-Hajj, yang artinya, “Dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zhalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih.” (QS Al-Hajj: 25). Jadi, orang itu akan dihukum di sini dengan berniat jahat saja.
Rasulullah SAW juga berkata yang ditujukan kepada Makkah, “Sesungguhnya engkau bumi Allah terbaik dan negeri Allah yang paling aku cintai.”
Setelah Makkah, yang paling mulia adalah Madinah. Mengenai masjidnya di kota ini, Rasulullah bersabda, “Satu kali shalat di masjidku ini lebih baik daripada seribu kali shalat di tempat lain kecuali di Masjid Haram.”
Mengenai pelaksanaan haji itu sendiri, walaupun Al-Ghazali berpendapat bahwa pelaksanaan haji dapat ditunda beberapa waktu (tidak harus segera), ia mengatakan, “Barang siapa memiliki kemampuan, ia wajib menunaikan haji.
Dan ia dapat menundanya, tetapi hal ini mengandung bahaya. Apabila ia memiliki kemudahan walaupun di akhir umurnya (dan ia tidak menunaikan haji), ia berjumpa dengan Allah dalam keadaan sebagai seorang yang bermaksiat karena meninggalkan haji. Jika ada peninggalannya, ia harus dihajikan dengannya sekalipun ia tidak mewasiatkannya, sebagaimana utang-utangnya yang lain.
Seandainya seseorang memiliki kemampuan di dalam suatu tahun tetapi ia tidak berangkat bersama orang-orang dan kemudian hartanya itu binasa pada tahun itu juga sebelum orang-orang itu menunaikan haji (yakni, mereka masih dalam perjalanan), kemudian ia mati, ia berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak memiliki kewajiban haji atasnya. Barang siapa mati dan belum menunaikan haji padahal memiliki kemudahan, hal itu sangat berat di sisi Allah.
Umar RA pernah mengatakan, ‘Aku ingin menulis surat kepada negeri-negeri agar dikenakan pajak terhadap orang yang memiliki kemampuan tetapi tidak menunaikan haji.’ Dari Sa`id bin Jubair, Ibrahim An-Nakha`i, Mujahid, dan Thawus, dikatakan, ‘Barang siapa mati dalam keadaan belum membayarkan zakat dan belum menunaikan haji, ia minta dikembalikan ke dunia dan ia membaca firman Allah, yang artinya: Ya Allah, kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal yang shalih terhadap yang telah aku tinggalkan’.” (QS Al-Mu`minun: 99-100).
Harap-harap Cemas





