Adab Berhaji
Mengenai adab yang harus diperhatikan seorang yang menunaikan haji, Al-Ghazali menuturkan:
Di antara adab yang paling penting dalam perjalanan ini adalah seseorang mengkhususkan dirinya untuk melakukan haji dan memutuskan segala hubungannya dengan dunia.
Itu dilakukan dengan melakukan taubat yang murni semata-mata karena Alah dari semua perbuatan maksiat dan kezhaliman.
Karena, setiap kezhaliman itu merupakan pengait dan setiap pengait itu seperti musuh yang memberikan pinjaman dan ia akan mengait ke arah seseorang dan akan berkata, “Ke mana engkau menghadap, wahai Fulan? Apakah engkau menuju ke Rumah Allah, Raja dari segala raja, sedangkan engkau menyia-nyiakan perintah-Nya di rumahmu dan mengabaikan-Nya? Tidakkah engkau malu bahwa engkau datang kepada-Nya sebagaimana datangnya seorang hamba yang suka bermaksiat, lalu Dia akan menolakmu dan tidak menerimamu?
Jika engkau ingin ziarahmu diterima, pertama-tama laksanakan perintah-perintah-Nya, kembalikanlah apa-apa yang diperoleh dengan zhalim, bertaubatlah kepada-Nya dari semua maksiat, dan putuskanlah keterkaitan hatimu dengan selain Dia, agar engkau menghadap kepada-Nya dengan wajah hatimu sebagaimana engkau menghadap kepada rumah-Nya dengan wajah tubuhmu.
Jika engkau tidak melakukan itu, engkau tidak mendapatkan apa-apa dari perjalananmu kecuali kelelahan dan kesengsaraan, lalu pencampakan dan penolakan.
Apabila seorang yang menunaikan haji membeli dua pakaian ihram, hendaklah ketika itu ia ingat akan kain kafan dan ingat pula bahwa ia akan dibungkus dengannya.
Sesungguhnya ia akan mengenakan dua pakaian ihram ketika dekat dengan Baitullah dan barangkali belum sempat menyempurnakan perjalanannya kepada-Nya tiba-tiba ia sudah harus menjumpai Allah dalam keadaan dibungkus dengan kain kafan.
Sebagaimanan ia tidak menjumpai rumah Allah kecuali dalam keadaan berbeda dengan kebiasaannya dalam berpakaian, maka ia juga tidak menjumpai Allah setelah mati melainkan dengan pakaian yang berbeda dengan pakaian dunia. Pakaian ihram ini mirip dengan pakaian untuk kafan, yaitu tidak ada jahitannya.
Di antara kedalaman-kedalaman ibadah haji adalah bahwa ketika seseorang berangkat dari negerinya hendaknya ia berpisah dengan keluarganya dan tanah airnya dalam rangka menghadap Allah dalam suatu perjalanan yang tidak sama dengan perjalanan-perjalanan dunia.
Hendaknya ia hadirkan di dalam hatinya apa yang ia inginkan: Ke mana ia menghadap dan siapa yang ditujunya.
Hendaknya ia menyadari bahwa ia menghadap kepada Pemelihara dari segala pemelihara dalam rombongan orang-orang yang diseru lalu mereka memenuhinya, memutuskan segala hubungan, berpisah dengan orang-orang, dan mendatangi Baitullah, yang Allah agungkan dan tinggikan kedudukannya, sampai ia memberikan kepada mereka puncak cita-cita mereka dan mereka berbahagia dengan memandang kepada Pelindung mereka.
Hendaklah ia hadirkan di dalam hatinya harapan akan sampainya dan diterimanya amalnya, tidak tertipu dengan amal-amalnya, tidak merasa mulia dengan keberangkatanya, dan tidak merasa bangga dengan meninggalkan keluarganya dan hartanya.
Melainkan percaya dengan anugerah Allah SWT dan berharap Dia mewujudkan janji-Nya bagi orang yang menziarahi Rumah-Nya, dan berharap, apabila ia tidak sampai ke rumah dan menemui ajalnya di dalam perjalanan, ia akan berjumpa dengan Allah sebagai orang yang mendatangi-Nya, sebagaimana yang Allah katakan dalam surah An-Nisa`, yang artinya, “Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS An-Nisa’: 100).
Filosofi Haji





