Filosofi Haji
Al-Ghazali menjelaskan falsafah dari masuknya orang yang menunaikan haji ke Makkah. Di sini kecenderungan harapan dalam jiwa seseorang lebih menonjol dibandingkan kecenderungan rasa takutnya.
Ketika seseorang memasuki Makkah untuk menunaikan haji, hendaknya ia ingat bahwa ia telah sampai ke Tanah Haram dengan aman. Di saat itu hendaknya ia berharap bahwa dengan memasukinya ia akan aman dari siksa Allah. Hendaknya ia berharap bahwa dengan memasukinya ia akan aman dari siksa Allah.
Namun hendaknya juga ia merasa takut apabila ia tidak mendapatkan kedekatan dengan Allah yang membuat masuknya ia ke Tanah Haram menjadi sia-sia dan mendapatkan murka.
Hendaknya harapannya ada di sepanjang waktu. Kemurahan Allah itu merata, Tuhan itu Maha Penyayang, kemuliaan Baitullah itu sungguh besar, hak orang yang berziarah itu dijaga, dan orang yang meminta pertolongan dan perlindungan itu tidak akan disia-siakan.
Apabila pandangan seseorang tertuju kepada Ka`bah, hal itu akan menghadirkan keagungan Baitulah di dalam hatinya. Al-Ghazali berkata kepada orang yang memandangnya, “Berharaplah agar Allah memberikan rizqi kepadamu dapat melihat wajah-Nya yang mulia sebagaimana Dia telah memberi rizqi kepadamu dapat memandang Rumah-Nya yang agung.
Bersyukurlah kepada-Nya karena Dia menyampaikanmu pada kedudukan ini dan menggabungkanmu dalam kelompok orang-orang yang mendatangi-Nya. Di saat itu ingatlah bagaimana manusia digiring pada hari Kiamat menuju surga, yang mana mereka terbagi-bagi ke dalam orang-orang yang diberikan izin untuk memasukinya dan orang-orang yang dipalingkan, sebagaimana terbagi-baginya para jama’ah haji menjadi orang-orang yang diterima dan yang ditolak hajinya.
Dan teruslah mengingat perkara-perkara akhirat dalam segala yang dilihat, karena segala hal ihwal haji menunjukkan hal ihwal akhirat.
Kemudian ketika melaksanakan thawaf di Baitullah, hendaknya ingat bahwa thawaf adalah seperti shalat, sehingga hadirkanlah dalam qalbu keagungan Allah, rasa takut dan rasa harap kepada-Nya, dan seluruh perasaan cinta kepada-Nya. Dengan melaksanakan thawaf, jama’ah haji mirip para malaikat yang mendekatkan diri kepada Allah dan mengelilingi seputar arasy.
Janganlah berpandangan bahwa thawaf adalah semata-mata mengelilingi Ka`bah dengan tubuh, melainkan thawaf juga dengan qalbu dan senantiasa ingat kepada Allah. Dengan demikian, kita memulai berpikir dan mengakhirinya karena Allah.
Ketika mencium Hajar Aswad, hendaknya yakin sedang menjalin sumpah kesetiaan dengan Allah dan akan mematuhi-Nya.”
Manakala kita telah rampung melaksanakan thawaf dan kemudian menuju Bukit Safa untuk melaksanakan sa`i, Al-Ghazali berpesan, “Laksanakanlah sa`i laksana bolak-baliknya seorang hamba di halaman istana seorang raja. Hamba itu datang dan pergi berkali-kali untuk menyatakan ketulusan pengabdiannya dan mendambakan perhatian dengan pandangan kasih sayang, laksana orang yang masuk dan keluar dalam menghadap seorang raja.
Sedangkan ia tidak tahu apa yang akan ditetapkan sang raja terhadap dirinya, yakni diterimakah atau ditolak. Kalau gagal pada kali pertama, ia berharap meraih kasih sayang pada kali kedua.”
Al-Ghazali terus memberikan penjelasan filosofisnya yang mendalam dalam menggambarkan amalan-amalan zhahir haji, agar para jama’ah haji memiliki kedalaman-kedalaman dan rahasia-rahasia bathin, sebagaimana kita melihat hal itu dalam pembicaraannya tentang melontar jumrah.
Ia mengatakan: Adapun mengenai melontar jumrah, maksudkanlah dengannya untuk patuh kepada perintah dan menunjukkan penghambaan dan perjalanan kita semata-mata karena menjalankan perintah. Kemudian tujukanlah dengannya mengikuti Nabi Ibrahim ketika dibujuk oleh iblis di tempat itu untuk melakukan maksiat lalu Allah menyuruhnya agar melemparnya dengan batu untuk mengusirnya dan memutuskan harapannya.
Seandainya terlintas pada benakmu bahwa setan membujuknya (Nabi Ibrahim) dan ia menyaksikannya sehingga ia pantas melemparnya sedangkan engkau tidak dibujuk oleh setan, ketahuilah bahwa pikiran ini berasal dari setan dan ia yang memasukkan di dalam hatimu untuk melemahkan niatmu dalam melontar dan membisikkan kepadamu bahwa itu suatu perbuatan yang tidak ada manfaatnya dan bahwa itu seperti permainan sehingga engkau tidak perlu menyibukkan diri dengannya, usirlah dia dari dirimu dengan sungguh-sungguh dan dengan sigap dalam melontarnya.
Ketahuilah, pada lahirnya engkau melontar batu-batuan ke Aqabah, padahal pada hakikatnya engkau melontar dengan batu-batuan itu wajah setan dan menghancurkannya.
Jadi, ia tidak dapat dikalahkan kecuali engkau melaksanakan perintah Allah sebagai pengagungan kepada-Nya dengan semata-mata mematuhi perintah-Nya tanpa memikirkan diri sendiri dan akal.
Apabila seseorang yang menunaikan haji mengunjungi kota Rasul, hendaklah ketika melihatnya ia ingat bahwa itulah kota yang Allah pilih untuk Nabi-Nya, yang Dia jadikan sebagai tempat hijrah beliau.
Di sana beliau berjuang menghadapi musuhnya dan menampakkan agamanya sampai beliau wafat menghadap Allah.
Kemudian Dia menjadikan jasadnya berada di sana. Begitu juga dengan jasad dua orang pembantunya yang menjalankan kebenaran, Abu Bakar dan Umar.
Hendaknya seorang yang berhaji membayangkankan dalam dirinya tempat-tempat pijakan kaki Rasulullah ketika berjalan di sana.
Tidakkah setiap pijakan kaki melainkan merupakan tempat pijakan-pijakan kaki beliau yang mulia, sehingga seorang yang berhaji tidak meletakkan kakinya melainkan dengan tenang dan dengan khawatir, serta ingat bagaimana berjalannya Rasulullah dan ketenangannya dalam berjalan, juga mengingat bagaimana Allah memasukkan di dalam hati beliau ma’rifat yang agung kepada-Nya dan meninggikan sebutannya sehingga Dia menyertakannya dengan sebutan terhadap diri-Nya, dan bagaimana Allah akan memberikan hukuman kepada orang yang mencederai kehormatannya walaupun sekadar meninggikan suaranya di atas suara beliau.
Hendaknya ia juga mengingat bagaimana Allah menggembirakan orang-orang yang menjadi sahabat beliau dengannya dan mereka berbahagia dapat menyaksikan beliau dan mendengar perkataannya.
Hendaknya ia merasa menyesal karena tidak dapat bersahabat dengan Rasulullah dan para sahabatnya. Hendaknya ia mengingat bahwa, setelah ia tidak dapat melihatnya di dunia, kesempatan untuk melihatnya di akhirat pun masih mengkhawatirkan (belum dapat dipastikan).
Karena, buruknya amal seseorang dapat menghalanginya untuk berjumpa dengannya sebagaimana yang beliau katakan, “Allah mengangkat kepadaku beberapa kaum, lalu mereka berkata, ‘Wahai Muhammad, wahai Muhammad.’
Lalu aku berkata, ‘Wahai Tuhan, mereka para sahabatku.’
Tuhan berkata, ‘Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang mereka lakukan setelah engkau tiada.’
Maka aku katakan, ‘Menjauhlah mereka dariku’.”
Seandainya engkau tinggalkan kehormatan syari’atnya walau hanya semenit, janganlah engkau merasa aman bahwa engkau tak akan terhalang dari beliau karena penyimpanganmu dari jalannya.
Walaupun demikian, besarkanlah harapanmu bahwa Allah tidak akan menghalangi antara engkau dan beliau setelah ia memberikan rizqi keimanan kepadamu dan memberangkatkanmu dari tanah airmu untuk menziarahi beliau tanpa niat untuk berdagang dan tanpa mengharapkan bagian dunia, melainkan semata-mata karena kecintaanmu kepada beliau dan kerinduanmu untuk melihat peninggalan-peninggalannya dan dinding makamnya.
Apabila engkau menyerahkan dirimu dalam perjalanan semata-mata untuk itu, wajarlah jika Allah memandangmu dengan pandangan kasih sayang.
Ali Yahya





