Hidayah Al-Qur’an itu akan semakin bermakna manakala ia dipahami, disosialisasikan, dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Belum lama ini alKisah mendapatkan kesempatan istimewa, berbincang-bincang dengan pakar ilmu-ilmu Al-Qur’an, K.H. Dr. Ahsin Sakho Muhammad M.M., tamu kita kali ini. Di tengah aktivitasnya yang padat, Kiai Ahsin mengisahkan awal mula ia menggeluti bidang ini hingga akhirnya mengkhidmahkan dirinya kepada Al-Qur’an.
Menurut kiai kelahiran 21 Februari 1956 di Arjawinangun-Cirebon ini, mempelajari sekaligus berkhidmah kepada Al-Qur’an merupakan suatu keniscayaan. Karena Al-Qur’an adalah pedoman dan petunjuk bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan, agar tidak tersesat.
Kecintaanya kepada Al-Qur’an telah ditunjukkan sejak kecil. Anak ketiga dari delapan bersaudara pasangan K.H. Muhammad dan Nyi Umi Salamah ini telah hafal tiga juz Al-Quran, yakni juz 28, 29, dan 30, ketika masih duduk di kelas IV SD.
Oleh karena itu, sang kakek, ulama terkenal yang sangat wara dan alim, K.H. Abdullah Syathori, sangat menyayanginya. Beliau memang sangat menginginkan, kelak di antara anak-anak atau cucu-cucunya banyak yang hafal Al-Qur’an.
Saking gembiranya, sang kakek, yang juga pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid, Arjawinangun, memintanya menghafalkan ketiga jus tersebut saat acara khitanannya. “Sampai ngantuk-ngantuk saya membacannya,” kata Kiai Ahsin mengenang.
Sayang, kakeknya meninggal saat Ahsin masih duduk di bangku SMP, sehingga ia tidak sempat belajar banyak dan mengambil ilmu darinya. Meskipun demikian Kiai Ahsin merasa, saat-saat kebersamaan dengan sang kakek begitu berharga dan menjadi bekal dalam menjalani kehidupannya hingga kini.
Selain kakek, peran orangtua begitu dominan dalam menanamkan kecintaanya kepada Al-Qur’an. Ia lahir dan besar di lingkungan religius. Sang ayah langsung mengajarinya Al-Qur’an dan dasar-dasar agama. Ayahnya juga kerap menasihatinya untuk belajar ilmu qira’at, baik itu qira’ah sab’ah maupun qira’ah asy’arah. Di indonesia jarang yang mempelajari ilmu ini, karena terbilang sulit.
Begitu juga dengan ibundanya, yang sangat istiqamah. “Beliau tidak pernah lepas membaca Al-Qur’an dan Dalail Khairat, sehingga saya semakin termotivasi mempelajari Al-Qur’an.” Nyi Umi Salamah mendapat ijazah langsung dari Kiai Abdullah Syatori. Kakek dari pihak ibu ini adalah pemberi ijazah Dalail Khairat.
Mumtaz Syaraful ‘Ula
Ahsin menyelesaikan pendidikan formalnya mulai tingkat dasar hingga pertama di sekolah umum Arjawinangun. Sedangkan dasar-dasar ilmu agama, selain belajar kepada orangtua, ia juga belajar di pesantren milik keluarganya. Pendidikan tingkat atasnya selesaikan di SMU Kediri sambil modok di Pesantren Lirboyo. Di pesantren terkemuka itu ia belajar ilmu-ilmu agama baku, seperti fiqih dan ilmu-ilmu alat.
Saat libur panjang ia menimba ilmu di pesantren lain. Di antaranya, ia pernah mengaji tabarrukan kepada K.H. Umar Abdul Manan, Solo, dengan menyetorkan hafalan-hafalan Al-Qur’annya. Dari K.H. Umar, ia memperoleh syahadah sanad. Sertifikat sanad dari Kiai Umar memang sangat didambakan. Dengan sertifikat itu terjaminlah bacaan yang benar, bagus, dan fasih. Juga menunjukkan bobot intelektualitas dan tanggung jawab sebagai seorang hafizh Al-Qur’an.
Sejak itu ia semakin berkeinginan kuat untuk mendalami Al-Qur’an. Maka ia memutuskan untuk belajar di Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta, pada tahun 1973. Masa-masa itu di Pulau jawa hanya ada tiga pentolan ulama Al-Qur’an: K.H. Baidawi, Kaliwungu, Semarang, K.H Munawir, Yogyakarta, dan K.H. Makmun, Banten.
Pada tahun 1976, ia juga sempat belajar kepada K.H. Arwani di Kudus. Namun hanya sekitar dua bulan, karena ia harus berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah umrah sekaligus belajar mendalami ilmu-ilmu agama sebagaimana cita-cita orangtuanya.
Ia mengaji Al-Qur’an di Masjidil Haram di bawah bimbingan Syaikh Abdullah Al-Arabi, orang Mesir, yang didatangkan oleh Jama’ah Tahfizh Al-Qur’an. Di Masjidil Haram memang banyak kegiatan, salah satunya dikoordinasi oleh lembaga tersebut.
Setahun kemudain ia hijrah ke Madinah Al-Munawwarah untuk mengikuti kuliah di Fakultas Kulliyatul-Qur’an wa Dirasah Islamiyyah dari Al-Jami`ah Al-Islamiyyah. Di sini ia tak mengalami kesulitan berarti, semua berjalan lancar tanpa hambatan. Apalagi ia mendapat beasiswa 200 dolar atau 775 riyal per bulan. Pemberian beasiswa itu, selain sebagai penghargaan bagi mereka yang mempelajari dan menghafal Al-Qur’an, juga untuk memotivasi para mahasiswa yang kuliah di fakultas tersebut.
Setamat S1, ia melanjutkan ke program pascasarjana di universitas yang sama, mengambil Jurusan Tafsir dan Ilmu Al-Qur’an, selesai pada 1987 dengan tesis Sejarah Perkembangan Ulumul Qur’an. Dan tingkat doktor dengan disertasi menulis tahqiq (menulis dan meneliti kembali) kitab At-Taqrib wal-Bayan fi Ma`rifati Syawadzil-Qur’an, karya Ash-Shafrawi, ulama asal Iskandariyah, Mesir, kelahiran 636 H/1216 M.
Kiai Ahsin meraih gelar doktor dengan yudisium mumtaz syaraful ‘ula (cumlaude) pada 1989. Praktis selama 12 tahun, sejak 1977, ia menghabiskan masa mudanya di Jam’iyyah Al-Islamiyyah, Madinah.
Bil Lisan dan Bil Qalam
Usai belajar di Madinah, ia kembali ke kampung halaman dan mengajar di Pondok Pesantren Darut Tauhid, Cirebon, yang diasuh oleh pamannya, K.H. Ibnu Ubaidillah.
Penguasaannya yang mendalam tentang ilmu-ilmu Al-Qur’an menarik perhatian banyak kalangan. Maka sejak lima tahun silam ia diminta menjadi sekretaris Lajnah Pentahsih Mushaf Al-Qur’an Kementerian Agama. Lembaga ini memiliki tiga divisi: Kajian Al-Qur’an, Pentahsih Mushaf Al-Qur’an, dan Baith Qur’an.
Pada divisi Pentahsih Mushaf Al-Qur’an, ia diperaya sebagai ketua tim revisi Tafsir Departemen Agama. Saat ini kitab tafsir tersebut telah beredar luas dan menjadi rujukan umat Islam. Di divisi Kajian Al-Qur’an, ia menjadi narasumber tetap kegiatan tafsir kauni dan tafsir tematis. Di divisi ini ia juga menerbitkan tafsir tematis dan tafsir kauni yang ditulisnya bersama beberapa koleganya.
Selain itu ia juga menjadi staf pengajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta, dan Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta. Keluasan dan kepakarannya dalam ilmu Al-Qur’an membuatnya diberi amanah sebagai rektor IIQ sejak 2005 silam. Saat ini IIQ menjadi centre of excellence atau universitas Al-Qur’an terbaik di Indonesia.
Kecintaanya kepada Al-Qur’an menginspirasinya untuk mendirikan Pondok Pesantren Daarul Qur’an di Cirebon sejak lima tahun silam.
Sementara di mancanegara, ia tercatat sebagai anggota badan pendiri Organisasi Tahfidz Internasional di Jeddah, Arab Saudi.
Praktis berbagai aktivitasnya itu mengharuskannya bolak-balik Jakarta-Cirebon, bahkan Arab Saudi.
Menariknya, seabreg kegiatannya tersebut tidak membuat Kiai Ahsin jenuh. Sebaliknya ia merasa bersemangat menjalaninnya. Ini dijadikannya ladang dakwah untuk menyemaikan nilai-nilai Al-Qur’an dalam diri umat. Atau, memimjam istilah M. Quraish Shibab, membumikan Al-Qur’an.
Upaya ini dilakukannya tidak hanya bil isan namun juga bil qalam. Baru-baru ini ia menelurkan prodak rekaman pembelajaran mudah Al-Qur’an berbentuk digital pena dan kaset, baik untuk pemula maupun tingkat lanjut.
Ketika alKisah meminta rahasianya dalam menuntut ilmu Al-Qur’an dan menghafalnya, bahkan hingga berhasil seperti sekarang ini, Kiai Ahsin begitu baik hati menuturkannya untuk pembaca setia alKisah.
Untuk itu baca selengkapnya di alKisah edisi 17.