Sejak tahun 1980-an mulai terjadi pergeseran fokus dari teori kepemimpinan behavioral contingency (yang mempelajari perilaku pemimpin yang cocok dengan situasi tertentu) menuju kepemimpinan strategis yang menekankan visi, motivasi, dan pengendalian melalui nilai-nilai atau budaya di dalam klan yang adaptif terhadap perubahan lingkungan organisasi. Ini dinyatakan oleh Louise W. Fry dalam tulisannya, Toward a Theory of Spiritual Leadership.
Apa yang dinyatakan Fry tersebut benar adanya. Hal ini dapat kita simak dari terbitnya buku-buku teks kepemimpinan yang mengupas tentang kepemimpinan dan budaya organisasi, kepemimpinan perusahaan berdasarkan misi dan nilai-nilai, spiritualitas di tempat kerja, dan artikel-artikel tentang spiritualitas di tempat kerja dalam jurnal-jurnal bisnis/manajemen.
Bukan hanya tampak dari terbitan buku-buku dan artikel-artikel; dalam praktik juga banyak perusahaan yang sukses menerapkan pendekatan baru tersebut dalam kepemimpinan.
Bahkan, perkembangan yang terjadi justru bermula dari kebutuhan para praktisi di lapangan akan penemuan makna kerja (spiritualitas kerja) yang kemudian disambut oleh para akademisi dengan penerbitan tulisan-tulisan ilmiah.
Daftar Isi
Berpengaruh Positif
Spiritualitas di tempat kerja belum berkembang dalam wacana kepemimpinan di Indonesia, meskipun tumbuh subur di Amerika. Ini merupakan bagian dari fokus mutakhir praktisi dan akademisi Amerika mengenai kepemimpinan, sebagai bagian dari usaha pengembangan nilai-nilai dan penemuan makna kerja.
Dari berbagai penelitian diketahui bahwa pengembangan spiritualitas di tempat kerja berpengaruh positif terhadap sikap dan perilaku kerja para karyawan. Antara lain menyangkut kepuasan kerja, komitmen, motivasi, keterlibatan kerja, inovasi, dan produktivitas. Hal-hal tersebut sangat penting bagi efektivitas organisasi secara keseluruhan.
Bagi kita, isu mengenai spiritualitas di tempat kerja ini tentu sangat berarti. Hal ini dapat menjadi alternatif dari model birokrasi yang sudah terbukti tidak efektif. Birokrasi yang banyak diterapkan pada organisasi pemerintah maupun nonpemerintah cenderung berorientasi pada standardisasi, formalisasi, dan sentralisasi.
Model ini tidak cukup mampu mengantisipasi perubahan-perubahan dari lingkungan dan tidak mendukung kebermaknaan hidup. Banyak orang bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan status, bukan karena mencintai pekerjaan itu sendiri dan menemukan makna hidup melalui pekerjaannya.
Bukan Agama
Seperti dikemukakan Ashmos & Duchon, spiritualitas di tempat kerja bukanlah agama atau pengganti agama, dan juga bukan perihal mengajak orang untuk mengikuti sistem keyakinan tertentu.
Spiritualitas di tempat kerja adalah mengenai pemahaman diri pekerja sebagai makhluk spiritual yang jiwanya (the soul) memerlukan “makanan” di tempat kerja; mengenai pengalaman akan rasa bertujuan dan bermakna dalam pekerjaannya; dan juga tentang mengalami perasaan saling terhubung dengan orang lain dan dengan komunitasnya di tempat kerja.
Perkembangan spiritualitas di tempat kerja tidak dapat diharapkan berkembang sendiri tanpa adanya dukungan dari pimpinan. Itu sebabnya, wacana kepemimpinan spiritual menjadi penting untuk dikemukakan.
Menurut Fry, kepemimpinan spiritual merupakan kumpulan nilai-nilai, sikap, dan perilaku yang diperlukan untuk memotivasi diri sendiri maupun orang lain secara intrinsik, sehingga masing-masing memiliki perasaan survival yang bersifat spiritual melalui keanggotaan dan keterpanggilan.
- Menurut Fry, kepemimpinan spiritual itu memerlukan dua hal:
Penciptaan visi sehingga anggota-anggota organisasi mengalami suatu perasaan terpanggil (pengalaman transendens sehubungan dengan tugas/pekerjaan), memiliki makna dalam hidupnya, dan merasakan suatu keunikan. - Menegakkan suatu budaya sosial/organisasi yang berdasarkan cinta altruistik (tanpa pamrih pribadi), di mana para pemimpin dan anggota-anggotanya memiliki perhatian, kepedulian, dan penghargaan yang tulus satu sama lain, sehingga menghasilkan suatu rasa keanggotaan dan rasa dipahami dan dihargai.
Berdasarkan pendapat Fry mengenai kepemimpinan spiritual, tampak bahwa ini bukan hal yang mudah dilakukan oleh sembarang pemimpin. Hanya orang-orang yang matang secara spiritual saja yang mampu mengembangkan kepemimpinan spiritual.
Tingkat Kesadaran
Spiritualitas, yang merupakan salah satu topik penting dalam Psikologi Transpersonal, berkaitan erat dengan persoalan kesadaran. Menurut John E. Young dari Universitas New Mexico (International Journal of Organizational Analysis), para CEO (pimpinan puncak dalam organisasi) mengemban tanggung jawab atas proses-proses dalam strategi, administrasi, dan dalam tahapan awal pengembangan bisnis juga harus bertindak pada tataran operasional manajemen. Mereka terus-menerus dihadapkan pada tugas pemecahan masalah dan proses manajemen yang menentukan nasib bisnis jangka panjang.
Lingkungan bisnis/organisasi yang kini berubah dengan cepat dan berkembang semakin kompleks, memerlukan kemampuan pemecahan masalah yang semakin tinggi pula. Tingkat perkembangan spiritualitas CEO (tercermin dari tingkat kesadarannya) menentukan kemampuannya memecahkan masalah.
Perihal tingkat kesadaran, seorang jenius yang sangat progresif dalam studi tentang kesadaran, Ken Wilber, mengembangkan model yang menggambarkan enam tingkat kesadaran. Berdasarkan model tersebut, John E. Young menerbitkan kajian yang menggambarkan bagaimana kemampuan pemecahan masalah para CEO akan meningkat seiring dengan semakin tingginya tingkat kesadaran.
Tingkat Kesadaran
Menurut Wilber, kesadaran mencerminkan perasaan akan identitas. Perasaan akan identitas ini dapat bergerak dari suatu identitas sempit yang berkaitan dengan egosentrisitas, menuju perluasan perasaan identitas yang dikenal dengan istilah Supreme Identity atau kesadaran kosmik.
Dengan demikian dapat terjadi evolusi kesadaran, di mana seseorang mengalami peningkatan dalam kesadaran, dari tingkatan yang egosentris menuju perspektif yang universal.
Terdapat enam tingkat kesadaran menurut Wilber. Tingkat kesadaran tersebut berturut-turut disebut Shadow, Ego, Biosocial Bands, Existential, Transpersonal, dan Level of Mind. Tingkat kesadaran yang pertama hingga keempat (Shadow s.d. Existential) menunjukkan bahwa individu terutama bersandar pada pemrosesan kognitif atas pengetahuan simbolis.
Sementara pada dua tingkat berikutnya (Transpersonal dan Level of Mind) menunjukkan bahwa individu meningkatkan kapasitasnya dengan memproses pengetahuan secara intim sambil tetap mempertahankan kemampuan untuk memproses pengetahuan simbolik.
Poin penting dari evolusi kesadaran adalah bahwa ketika individu mengalami kemajuan menuju tingkat kesadaran yang lebih tinggi, perspektifnya semakin luas, identitasnya juga semakin besar, dan keduanya semakin komprehensif (utuh).
Oleh Wilber disebut sebagai transformasi spiritualitas. Tiap tahap perkembangan atau tingkat kesadaran mengantarkan seseorang kepada dimensi eksistensi yang baru, cara-cara belajar, kebutuhan, ketakutan, persepsi, model ruang dan waktu, motivasi, sensibilitas moral dan sebagainya, yang baru.
Berdasarkan perluasan perspektif dan perluasan identitas diri tersebut, kita dapat memahami bahwa seorang CEO yang tingkat kesadarannya meningkat, akan meningkat pula kemampuannya dalam mengatasi persoalan-persoalan bisnis dan manajemen secara efektif.