Masjid Agung Xian
Masjid Agung Xian

Masjid Agung Xian, Masjid Beraroma Pagoda

Posted on

Masjid Agung Xian, memadukan unsur arsitektur Islam dan Buddha, merupakan masjid tua terbesar di China.

Sepintas kompleks bangun­an ini lebih mirip sebuah kompleks kuil Buddha, dengan­ pagoda besar, dinding bata, dan menara kayu berornamen China. Pada kenyataannya, dia sebuah masjid, salah satu warisan terpenting arsitektur dan budaya Islam di Daratan China.

Masjid Agung di Kota Xian merupa­kan salah satu masjid terunik di dunia, hasil perpaduan arsitektur Buddha dan Islam, berkah dari hadits Rasulullah yang terkenal: “Belajarlah hingga ke Negeri China”. Masjid ini diyakini merupakan tempat ibadah muslim pertama di China, yang dibangun pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Serta buah dari kunjungan ekspedisi Islam pertama ke China di bawah pimpinan Sa’ad bin Abi Waqqas, yang tak lain adalah paman Nabi Muhammad.

Berabad setelah itu, saudagar Arab dan Persia berdatangan ke sini melewati Jalur Sutra yang terkenal, menetap di situ dan kawin dengan penduduk lokal, menurun­kan masyarakat muslim minoritas China, yang dikenal sebagai Suku Hui. Di Xian, kota berpenduduk 7 juta jiwa, masyarakat muslim hingga kini mengelola masjid, madrasah, dan restoran Islam sendiri.

Xian adalah salah satu kota klasik China yang terpenting. Dia ibukota kekaisaran China selama berabad-abad, dan merupakan museum hidup dengan warisan arsitektur yang sangat kaya. Di sinilah antara lain patung terracotta China yang terkenal itu ditemukan. Dan dikota inilah, selama 12 abad minoritas muslim menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari kota kuno yang hidup dan penuh warna itu. Dan Masjid Agung Xian adalah kekayaan mereka yang utama.

Seperti umumnya kompleks pagoda, kompleks Masjid Xian terbagi atas bebe­rapa taman atau lapangan berisi sejumlah paviliun dalam satu poros tunggal. Namun, berbeda dengan pagoda, poros masjid ini membujur dari timur ke barat, ke arah kiblat. Pahatan bermotif bunga dan inkripsi huruf Arab yang bertebaran di sini juga menjadi pembeda penting, sehingga orang tak akan sulit menge­nalinya sebagai bagian dari arsitektur Islam.

Meski pertama kali dibuat pada abad ke-7, kompleks dan bangunan masjid yang berdiri sekarang dibangun pada 1392. Sejak itu, masjid ini mengalami sejumlah perombakan. Sebagian besar dari bangunan yang ada sekarang didirikan pada masa Dinasti Ming dan Qing pada Abad ke 17-18. Pada kurun itu, ikut terlibat. Laksamana Cheng Ho, putra keluarga muslim terpandang dan pelancong China ternama, yang jejaknya juga bisa dilihat pada masjid China di Jawa, khususnya Semarang dan Surabaya.

Dibangun di luar tembok Kota Xian Kuno, masjid ini menempati lahan seluas 12.000 meter persegi, dengan bangunan-bangunan terpisah yang luas totalnya 6.000 meter persegi. Dari pintu gerbang utama hingga ujung, ada lima lapangan, masing-masing berisi paviliun, gerbang kayu raksasa, dan bermuara pada bangun­an salat utama yang ada di ujung barat, paling dekat kiblat.

Pada lapangan pertama berdiri gerbang lengkung dari kayu, berusia 360 tahun. Di kedua sisinya dipajang furniture kuno dari masa Dinasti Ming dan Qing. Daya tarik di lapangan kedua adalah dinding besar dengan huruf kaligrafi China yang ditulis dua kaligrafer terkenal dan dipandang sebagai yang terbaik dalam sejarah China, Mi Fu dari masa Dinasti Song dan Dong Qichang dari masa Dinasti Ming.

Di lapangan ketiga berdiri bangunan paling tua di kompleks itu, yang di sam­ping menjadi madrasah juga menyimpan antara lain prasasti batu dengan pahatan huruf Arab, yang dikenal sebagai “The Moon Tablet”, tempat para ulama memperhitungkan kalender qomariah, kalender berdasar putaran bulan.

Di tengah lapangan keempat ada menara tertinggi di seluruh kompleks, yang disebut “Menara Introspeksi”, yang sekaligus merupakan menara masjid. Menara ini terbuat dari batu bata setinggi 10 meter. Di dekat situ ada paviliun berisi rumah imam dan perpustakaan yang antara lain menyimpan salinan al-Quran bertulis tangan dari masa Dinasti Ming dan peta Mekkah buatan Dinasti Qing. Tak jauh dari situ, ada juga lima rumah kayu tempat berwudhu.

Melintasi dinding bata dengan pahatan asri dari situ, orang kemudian akan masuk ke ruang salat yang luas, berkapasitas 1.000 jemaah. Pintu masuk ke sini dihiasi inkripsi berbunyi “Satu Allah” yang dibuat pada masa Dinasti Ming. Interior ruang besar ini tergolong spektakular, seluruh ayat Al-Quran dipahat­kan dengan huruf China dan Arab pada 600 keping kayu yang disatukan menjadi papan raksasa. Paviliun di sebelah ruang salat ini berisi benda-benda kuno: kotak kayu berukir, meja dan kursi, porselin dan lukisan dari masa Dinasti Ming dan Qing. Juga ada di situ peninggalan jam matahari kuno.

Mihrab, tempat imam memimpin salat, diterangi cahaya temaram dari langit­. Lengkung mihrab dihiasi inkripsi yang menunjukkan pengaruh China pada tulisan Arab, yang antara lain diselingi hiasan bunga teratai. Pada bagian belakang dinding ruang salat besar ini, ada dua gerbang yang disebut “gerbang bulan” yang dipakai untuk mengamati bulan untuk menentukan kalender Islam, seperti kapan waktu mulai berpuasa.

Walhasil, Masjid Agung Xian adalah sebuah museum hidup, yang meringkas sejarah panjang dan kaya peradaban Islam di China. Sepanjang sejarah China, minoritas muslim menyumbang penga­ruh dan ikut menentukan arah sejarah, yang tidak hanya diwakili oleh sejarah Laksamana Chengho. Mengingat Xian adalah ibukota Kekaisaran China selama 11 dinasti, banyak muslim juga yang menduduki jabatan penting dalam pemerintahan. Jalur Sutra yang terkenal telah berjasa menjadi jembatan pertukar­an peradaban, dalam seni, ilmu pengetahuan, dan perniagaan antara China dan Arab-Persia.

Revolusi Budaya yang diperkenalkan Mao Tse Dong memang meminggirkan peran Islam, seperti juga peran semua agama. Namun, tidak pernah bisa menghilangkan jejak Islam di sana. Kini jumlah minoritas muslim di China, berdasar sensus resmi, mencapai 20 juta. Namun, menurut BBC, jumlah sebenarnya bisa mencapai 100 juta, menginga­t sensus 1938 mengungkapkan ada 50 juta penganut Islam di negeri itu.

Komunitas-komunitas muslim China tetap memelihara budaya mereka dengan­ mengoperasikan masjid dan madrasah, yang juga menyimpan catatan sejarah. Di kota Xian sendiri, mereka menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari kota yang semarak ini.

Pada 1956, Masjid Agung Xian diproklamasikan sebagai situs bersejarah dan budaya yang penting di bawah penge­lolaan Pemerintahan Provinsi Shaanxi. Dan pada 1988 dipromosikan sebagai situs terpenting di China. Sejak akhir 1970-an, masjid ini menerima lebih dari sejuta pengunjung dari seluruh dunia.

(Tulisan ini telah dimuat di Majalah Madina No. 4, Tahun 1, April 2008)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *