Masjid di Atas Bukit yang Sarat Nilai Sejarah

The Dome of The Rock

Kubah emas yang mencuat dari permukaan Qubbat Al-Sakhra—dikenal luas sebagai The Dome of The Rock—berdiri megah di tengah-tengah lanskap kusam Kota Tua Al Quds. Dari kejauhan udara, kemilaunya seakan menyulam langit dengan cahaya, kontras tajam dengan dominasi rona keabu-abuan bangunan sekitarnya yang lelah dimakan zaman. Ibarat paku emas yang menancap di jantung arsitektur purba, keberadaannya menghipnotis pandang siapa pun yang menyaksikan.

Berdiri di titik sentral kawasan Haram Ash-Sharif—sebuah bentang suci seluas 15 hektar—Kubah Batu bukan sekadar artefak arsitektural, tetapi juga pusaka spiritual. Kompleks ini menaungi masjid, perpustakaan, madrasah, dan museum, menjadikannya episentrum ketiga tersuci dalam kosmologi Islam, setelah Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Dari sebongkah batu yang tersimpan di sana, dipercaya Rasulullah SAW mengawali pendakian langit dalam momen agung Isra’ Mi’raj, menjadikannya poros sejarah dan spiritualitas.

Namun sejak empat dekade lampau, situs ini berada di bawah cengkeraman otoritas Israel—sebuah kenyataan getir yang menjadikannya bayang-bayang dari dua tempat suci lainnya. Al Aqsa dan Al Quds senantiasa menjadi bara abadi dalam dada umat Islam, simbol kerinduan yang tak terobati dan luka yang terus digaruk.

Di pengujung Desember lalu, keputusan PM Israel, Ehud Olmert, untuk melanjutkan ekskavasi arkeologis di sekitar Al Aqsa, memicu gelombang protes dari Palestina dan dunia Islam. Dikhawatirkan, penggalian ini menggoyahkan fondasi sakral kompleks yang berdiri di atas elevasi bukit suci tersebut.

Koran Haaretz mengungkapkan bahwa Olmert menginstruksikan percepatan penggalian di sekitar Gerbang Barat—satu dari 14 portal menuju kawasan Al Aqsa. Ironisnya, instruksi ini keluar hanya dua hari selepas pertemuan damai di Annapolis, AS. Digelontorkan dana oleh kelompok pemukim Yahudi, proyek ini seolah menjadi kobaran baru dalam konflik yang telah membakar kawasan selama puluhan tahun.

Meski ekskavasi sudah dimulai pada Februari 2007, penentangan keras dari negara-negara Muslim dan UNESCO menahan lajunya. Badan dunia itu menuntut transparansi serta keterlibatan arkeolog independen internasional dalam prosesnya. Namun, seruan itu seperti dilempar ke dinding bisu.

Sebuah foto dramatis yang ditangkap anggota parlemen Arab Palestina, Abbas Zakur, mengungkap kehancuran ruang ibadah bawah tanah—dipercaya berasal dari era Dinasti Mameluk—akibat aktivitas ekskavasi. Israel berdalih bahwa ini bagian dari misi menggali bukti autentik eksistensi spiritualitas Yahudi sejak masa Nabi Sulaiman.

Menurut kepercayaan Yahudi, situs Haram Ash-Sharif merupakan Bukit Kuil (Temple Mount), tempat suci tertinggi dalam dogma mereka. Bersebelahan dengan Al Aqsa berdiri Dinding Barat, atau Dinding Ratapan—reliquia paling sakral bagi Yahudi. Di bawah tanah, diyakini tersembunyi reruntuhan Kuil Sulaiman yang dihancurkan oleh Babilonia pada 586 SM. Kuil Kedua yang didirikan pada 516 SM pun mengalami kehancuran oleh pasukan Romawi pada 70 Masehi. Dalam doktrin mereka, Kuil Ketiga kelak akan dibangun kembali—sebagian bahkan meyakini bahwa Al Aqsa harus dilenyapkan demi menyambut era mesianik itu.

Namun, tidak seluruh Yahudi menyetujui pendekatan ekstremis ini. Kaum Ortodoks menilai pembangunan kuil harus menanti kedatangan Sang Messiah, sebagai kehendak Ilahi, bukan ambisi duniawi. Tanpa panduan Tuhan, mendirikan kuil hanyalah kesombongan spiritual.

Luka Al Aqsa juga tak berhenti di sana. Pada 21 Agustus 1969, seorang wisatawan Australia, Michael Dennis Rohan, membakar sebagian bangunan masjid. Klaimnya bahwa ia diutus oleh kitab Zechariah untuk mempercepat kedatangan Messiah membuat publik dunia terperangah. Rohan akhirnya dirawat di rumah sakit jiwa, namun insiden itu membakar bara solidaritas Islam, memicu kelahiran Organisasi Konferensi Islam. Mimbar kayu bersejarah pemberian Shalahuddin Al-Ayyubi pun hangus dilalap api, digantikan kemudian oleh mimbar ukiran tangan dari Jepara, Indonesia.

Tak sedikit kalangan Kristen Evangelis—khususnya di Amerika—mendukung pembangunan Kuil Ketiga sebagai prasyarat datangnya Armageddon dan kebangkitan Jesus. Mereka menyokong segala upaya yang mendorong kehancuran Al Aqsa dan pendirian kuil baru sebagai bagian dari narasi apokaliptik.

Sementara itu, pemerintah Israel melalui proyek ekskavasi dan temuan arkeologis mencoba menguatkan klaim historis atas kawasan tersebut. Pada akhir 2007, arkeolog mereka mengklaim menemukan reruntuhan rumah dari 2.000 tahun silam di kawasan “Kota Daud”, diduga milik Ratu Helene dari Adiabene yang memeluk agama Yahudi. Sebelumnya, mereka juga menemukan serpihan dinding yang diyakini sebagai bagian dari tembok yang dijelaskan dalam Kitab Nehemiah.

Namun, suara sains tak sepenuhnya seiring dengan agenda politik. Israel Finkelstein, profesor arkeologi dari Tel Aviv University, menegaskan bahwa bukti tersebut tidak cukup untuk menyimpulkan bahwa dinding itu berasal dari era Nehemiah. Tanpa struktur pendukung lain, dinding itu bisa saja hasil konstruksi Usmaniyah, beberapa abad lalu.

Semua narasi arkeologis ini hanya potongan dari strategi besar Israel untuk menguasai Yerusalem Timur. Kawasan yang direbut dari Yordania dalam Perang 1967 itu dimasukkan secara sepihak ke dalam wilayah Israel. Namun, hingga kini dunia internasional menolak mengakui aneksasi itu. Palestina sendiri terus berharap wilayah tersebut menjadi ibu kota negara masa depan mereka.

Berpuluh tahun konflik telah menyelimuti Masjid Al Aqsa dalam bayang-bayang darah, puing, dan air mata. Namun kompleks Haram Ash-Sharif tetap berdiri sebagai simfoni peradaban Islam—berdampingan dengan taman, mata air, dan madrasah dalam pelukan arsitektur Umayyah hingga Usmaniyah. Ia adalah nadi Al Quds yang senantiasa berdetak dalam denyut sejarah.

Sejarah mencatat, pada 638 M, pasukan Islam mengepung Yerusalem. Namun, penaklukan itu justru tercatat sebagai salah satu bab paling damai. Umar bin Khattab, Khalifah kedua, memasuki kota dengan berjalan kaki. Tak ada pertumpahan darah, tak ada perampasan harta. Gereja dan sinagoga dibiarkan utuh. Sophronius, penguasa kota Romawi, menyerahkan kunci kota langsung kepada Umar. Saat ditawari shalat di Gereja Makam Kudus, Umar menolak, demi menjaga agar gereja itu tetap menjadi rumah ibadah Kristiani. Ia memilih shalat di luar, di atas puing yang diyakini sebagai bekas Masjid Nabi Sulaiman.

Umar lalu membersihkan area itu dengan tangannya sendiri, memulai tradisi yang kemudian dilanjutkan oleh ratusan sahabat. Di situlah kemudian lahir Masjid Al Aqsa pertama, sebuah bangunan sederhana bertiang kayu.

Beberapa sejarawan Kristen beranggapan bahwa lokasi masjid itu dulunya adalah reruntuhan gereja yang dibangun Kaisar Justinius untuk menghormati Bunda Maria, yang dihancurkan pasukan Persia sebelum Umar datang.

Umar juga meminta Ka’ab al-Ahbar, seorang rabbi yang masuk Islam, untuk menunjukkan lokasi batu Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Di atas batu inilah, pada 690 M, Abdul Malik bin Marwan mendirikan Kubah Batu yang hingga kini masih berdiri. Arsitekturnya nyaris tak berubah dalam 13 abad, dengan hiasan kaligrafi Surat Yasin di bagian dalam.

Masjid Al Aqsa dibangun kembali pada 710 M oleh Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik, menjadikannya sebagai pusat pendidikan dan spiritualitas. Halamannya yang luas dihiasi air mancur dan pohon-pohon rindang, tetap menjadi tempat shalat Jumat utama hingga kini.

Bangunan ini telah beberapa kali diguncang gempa dan direnovasi ulang, mulai dari era Abbasiyah, Fatimiyah hingga zaman Turki Usmaniyah. Kubahnya yang semula perak, kemudian dilapisi timah hitam, menjadi simbol dualitas bersama Kubah Batu yang berwarna emas.

Pada 1998, Raja Hussein dari Yordania menyumbangkan emas seberat 80 kg hasil penjualan rumah pribadinya di London untuk memperindah kembali Kubah Batu. Renovasi besar Masjid Al Aqsa kemudian dilakukan oleh UNESCO pada 2004, dalam proyek pelestarian senilai US$ 140 juta. Sayangnya, proyek agung ini terus dibayang-bayangi oleh konflik yang tak kunjung padam.

Lapisan Waktu yang Tercabik Perang

Masa Perang Salib
Pada Abad ke-11, pasukan Romawi di bawah Kaisar Agustinus mengkonversi Kubah Batu menjadi gereja dan Masjid Al Aqsa menjadi kediaman Raja Baldwin I.

Kebangkitan Ayyubi dan Era Mameluk
Setelah direbut kembali oleh Salahuddin Al Ayyubi pada 1187, kompleks ini kembali dimuliakan. Bulan sabit menggantikan salib. Bangunan direnovasi oleh Al-Muazzam Isa.

Kekhalifahan Usmaniyah (1517–1917)
Renovasi besar dilakukan oleh Sulaiman Agung dan Mahmud II. Marmer kaligrafi menjadi pelapis Kubah Batu.

Zaman Kolonial Inggris (1917–1948)
Gempa pada 1927 merusak Kubah Batu, menyia-nyiakan beberapa usaha restorasi sebelumnya.

1948 hingga Kini
Renovasi oleh Yordania pada 1955, penggantian marmer dari era Sulaiman Agung, serta pelapisan kubah dengan alumunium Italia. Namun, perang 1967 mengubah segalanya. Meski pengelolaan diserahkan ke lembaga wakaf Islam, umat Muslim menghadapi berbagai hambatan untuk beribadah.

Kubah Batu dan Masjid Al Aqsa tetap menjadi denyut spiritual Al Quds. Meski dililit konflik dan digerus waktu, warisan itu masih menyala dalam batin umat manusia, sebagai saksi sunyi dari zaman yang terus berganti.