Seorang imam menyadari bahwa masjid yang ia pimpin sedang mengalami kesulitan keuangan. Namun, saat ia memeriksa gudang masjidnya, ia menemukan selusin kardus berisi buku-buku doa yang masih dalam keadaan bagus.
Jadilah pada saat berkumpul dengan jemaat pengajian, sang imam meminta ada relawan yang mau menjual buku-buku doa itu dari pintu ke pintu seharga lima puluh ribu rupiah untuk menggalang dana bagi masjidnya.
Farid, Hamid, dan Luthfie bersedia jadi relawan. Sang imam tahu, Farid dan Hamid sehari-hari memang berprofesi sebagai sales and marketing, jadi ia merasa aman dengan mereka berdua. Yang ia ragukan adalah Luthfie, yang sehari-hari hanyalah penjahit.
Luthfie adalah pendiam, karena ia selalu malu atas kekurangannya dalam berbicara. Tapi sang imam meridhakan mereka bertiga melakukan tugas sukarela itu, dan meminta mereka berjumpa Jumat depan untuk melaporkan hasil penjualan mereka.
Nyaris tak sabar ingin tahu hasil, sang imam segera bertanya, “Jadi, Farid, bagaimana hasil penjualanmu?”
Dengan bangga, Farid menyerahkan amplop berisi uang, dan bilang, “Dengan menggunakan keahlianku berjualan, aku bisa menjual 20 buku doa, dan inilah sejuta rupiah buat masjid ini.”
“Bagus, Farid!” Setelah menyalami Farid, sang imam bertanya pada Hamid, “Nah, Hamid, berapa banyak buku doa yang berhasil kau jual?”
Hamid, tersenyum simpul, memberikan amplopnya, dan dengan bangga berkata, ”Saya adalah seorang penjual profesional. Saya jual 28 buku doa itu, dan inilah 1,4 juta rupiah buat masjid!”
“Bagus sekali, Hamid,” ujar sang imam. ”Masjid ini sungguh telah berhutang padamu.” Setelah memberi selamat, sang imam bertanya hati-hati kepada Luthfie, ”Nah, Luthfie, apakah kamu berhasil menjual buku doa itu barang sebuah?”
Tanpa berkata apa-apa, Luthfie menyerahkan sebuah amplop besar dan tebal. Sang imam membukanya, dan terbelalak melihat jumlah uang di dalam amplop itu. ”16 juta rupiah?! Apa kamu telah menjual, um, 320 buku dalam seminggu?”
Luthfie hanya mengangguk. “Nggak mungkin!” Farid dan Hamid serempak bereaksi. “Kami adalah penjual professional, tapi kamu mengaku bisa menjual 10 kali lipat dari kami!”
“Ya,” ujar sang imam, “memang sepertinya tak mungkin. Kamu harus memberi penjelasan bagaimana itu bisa terjadi, Luthfie.”
Luthfie mengangkat bahu. ”S-s-sa-saya be-be-be-nar t-t-tak t-ta-ta-tahu p-p-pas-pasti,” ujar Lutfie gagap.
Dengan tak sabar, Hamid menyela, “Demi Tuhan, Luthfie, kasih tahu apa yang kamu bilang pada mereka saat mereka menyambutmu di pintu rumah mereka!”
“Y-y-yang-yang s-s-sa-sa-saya-saya b-b-bilang,” jawab Luthfie, “A-a-a-ap-apa-k-k-kah k-k-ka-kamu m-m-ma-mau b-b-beli b-b-buku d-d-d-do-do-doa i-i-ini s-s-seharga li-li-li-m-m-ma-ma p-p-p-puluh r-r-r-ribu, a-a-atau k-k-ka-ka-kam-m-m-mu m-m-mau s-s-s-saya d-d-di s-s-sini me-me-mem-ba-ba-bacak-k-kan-n-n-nya un-un-tuk k-k-kam-m-m-mu?” ***
(Tulisan ini telah dimuat di Majalah Madina No. 7, Tahun 1, Mei 2008)