Tabungan Pendidikan untuk Anak Kesayangan Anda
Gambar oleh Esi Grünhagen dari Pixabay

No pain, No gain, Memberikan hasil yang maksimal

Posted on

Banyak orang yang mendambakan kesuksesan. Tapi, sering kali kurang menyadari, bahwa untuk mencapai kesuksesan, semua butuh proses, butuh waktu, dan butuh diperjuangkan. Hal ini mengingatkan saya pada pepatah Tiongkok Kuno yaitu “Hal baik perlu dipoles”.

Ada banyak contoh nyata di dunia bahwa apa yang menjadi baik, mahal, indah, semua pasti mengalami proses yang kadang sangat sulit. No pain, no gain adalah pepatah yang sangat pas untuk menggambarkan “polesan” yang diperlukan oleh setiap insan untuk bisa jadi sesuatu yang bernilai di kehidupan masing-masing orang.

Tembikar atau keramik yang sangat indah terbentuk dari proses dibakar dan dipoles bukan hanya sekali dua kali saja. Atau, lihat juga kristal kaca nan cantik. Jika melihat prosesnya, kristal itu dibentuk dengan dibakar, dibentuk, dibakar, dibentuk lagi, dibakar, dibentuk lagi, begitu seterusnya hingga diperoleh bentuk yang diinginkan.

“Polesan” melalui bakaran dan bentukan yang kemudian ditimpa dengan pendinginan itulah yang membuat kristal nan cantik bisa menjadi kristal mahal yang punya nilai seni tinggi. Tanpa “penderitaan” dengan dibakar pada suhu sangat panas, ia hanya akan jadi kaca biasa yang kurang bernilai.

Polesan-polesan semacam inilah yang sebenarnya kerap kali akan kita temui sejak lahir hingga kematian menjemput. Coba ingat berapa kali kita terjatuh saat hendak belajar jalan. Kita juga sering kali berdarah kala ingin belajar sepeda. Saat remaja, dewasa, bekerja, hingga akhirnya tua dan meninggal, tak ada satu pun proses yang “mudah” yang kita jalani.

Semua pasti mengalami “polesan” kesulitan dengan derajat penerimaannya masing-masing. Namun, kita bisa menjadikannya “mudah” saat kita justru menjadikan semua itu pembelajaran bagi kita. Sehingga, kita akan tumbuh jadi insan yang kuat dan mampu menjadi sosok yang dapat mengarungi berbagai ujian.

Saya sendiri mengalami banyak momen yang menjadi sarana “polesan” diri hingga menjadi seperti saat ini. Satu hal yang saya ingat adalah di masa kecil saya ketika hidup dalam kondisi kekurangan.

Waktu itu, untuk mendapat air bersih guna diminum, kami harus menunggu air menetes di atas jam 12 malam. Sebab, air bersih yang keluar dari saluran air tidak muncul di siang hari.

Saat itulah, sembari menunggu tetesan—bukan kucuran—air, agar sampai penuh satu ember saja butuh waktu satu jam lebih, adalah waktu yang sangat membosankan. Tapi, di sinilah komitmen kita diuji. Karena itu, di tengah waktu menunggu, saya memilih untuk memanfaatkan waktu untuk memoles diri. Kala itu di Malang, saat malam cuaca juga sangat dingin.

Karena itu, guna mengusir rasa dingin dan kantuk, kungfu menjadi sarana olahraga yang saya rasa paling pas untuk dilakukan. Di sinilah, tanpa saya sadari, potensi dan kekuatan diri terus dipoles. Saat menghadapi penderitaan—karena harus menunggu air bersih—saya justru berkembang dari sisi kemampuan diri, utamanya kungfu. Hingga, akhirnya, kungfu ini jugalah yang menjadi salah satu sarana sukses saya mewujudkan impian menjadi aktor laga di Hongkong.

“Polesan” semacam itulah yang barangkali masing-masing orang punya kisah tersendiri. Dan, tergantung pada masing-masing orang jugalah, bagaimana ia menyikapi masa polesan itu.

Ada yang memilih menggerutu, menyikapi dengan biasa-biasa saja, atau ada pula yang menjadikan itu sebagai sarana belajar yang bisa jadi bekal kehidupannya. Karena itu, semua tergantung pada diri kita, bagaimana akan menyikapi setiap hal yang kita temui.

Saya ingat sebuah kisah yang saya dengarkan turun-temurun, yakni kisah tentang kakek yang hendak memindahkan bukit.

Suatu ketika, seorang kakek bertekad untuk memindahkan bukit untuk memudahkan ia bercocok tanam dan mengaliri air untuk ladangnya. Namun, tekad itu justru dilecehkan oleh orang lain. Sebab, tindakan itu dianggap hanya akan menghabiskan waktu dan nyaris sia-sia. Namun, Sang Kakek tetap menjalankan kegiatannya.

Kakek itu bertekad, bahwa ia suatu saat pasti mampu mengerjakan itu semua, walaupun sendirian saja. Maka, hari demi hari, ia terus menggali dan menggali. Ia berusaha memindahkan secangkul demi secangkul tanah bukit itu.

Tanpa terasa, hari, minggu, bulan, dan tahun berlalu. Ia yang terus giat menggali dan memindahkan tanah itu—meski pelan—sedikit demi sedikit mulai berhasil memindahkan sebagian bukit itu hingga ia lebih mudah mengaliri ladangnya dengan air.

Melihat itu, banyak orang tersadar. Bahwa yang dilakukan kakek itu benar dan bisa dijalankan. Maka, mereka pun berduyun-duyun mulai melakukan hal yang sama. Hingga, akhirnya pekerjaan itu pun berhasil dijalankan dengan waktu yang relatif lebih singkat.

Kisah itu menggambarkan, bahwa niat dan hal baik memang butuh diperjuangkan. Begitu juga dalam hidup kita. Mungkin saja, hari ini kita dilecehkan, dijatuhkan, diremehkan, atau disia-siakan dengan apa yang sedang kita perjuangkan.

Tapi ingat, hal baik perlu dipoles. Jika dilandasi dengan ketulusan, perjuangan yang terus kita lakukan, pasti akan memberikan hasil yang maksimal.

Mari, terus poles diri, untuk mencapai apa yang kita dambakan!

Sumber : andriewongso.com