Hadiah untuk Abu Nawas

Hadiah untuk Abu Nawas: Cerita di Balik Kemarahan Sang Raja

Posted on

Pada suatu siang Abu Nawas berada di istana ketika Raja Harun Ar-Rasyid sedang sibuk menerima rombongan tamu dari kerajaan sahabat. Saat itu hanya ada dua orang pelayan. Abu Nawas diminta untuk membantu kedua pelayan itu.

Ketika Abu Nawas sedang membawa semangkuk gulai yang masih panas untuk hidangan siang, tiba-tiba kakinya terpeleset. Gulai yang dibawanya pun tumpah dan sebagian mengenai muka sang raja.

Sebenarnya Raja sangat marah atas kejadian tersebut. Tetapi karena banyak tamu, ia tahan kemarahannya.

“Maafkan, Tuan-tuan, atas kelakuan pelayan kami yang kurang ajar tadi,” kata Raja.

Dari balik pintu tiba-tiba Abu Nawas membaca sepotong ayat Al-Qur’an, “…. Orang-orang yang bertaqwa, yaitu mereka yang menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya….”

“Ya, aku memang sedang menahan amarah,” sahut sang raja.

“Dan memaafkan atas kesalahan orang…,” Abu Nawas meneruskan pembacaan ayat.

“Baik, aku memaafkanmu atas kesalahanmu,” sahut Raja.

“Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan (QS Ali Imran: 133-134),” Abu Nawas mengakhiri pembacaan ayat itu.

“Hai pelayan, kemari! Ini terimalah uang lima ratus dirham sebagai hadiah,” kata Raja. “Lain kali, tolong kamu siram lagi mukaku dengan gulai, biar kamu bisa menerima hadiah lebih besar lagi dariku.”

***

Ibrah Menahan Amarah

Salah satu ibrah yang bisa kita petik dari kisah di atas adalah kemuliaan menahan amarah.

Mungkin ada sebagian orang yang menganggap, orang yang bisa mengumbar amarah adalah orang yang kuat. Tidak, tidak demikian.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Bukanlah kuat itu dengan mengalahkan musuh saat bergulat, akan tetapi kuat itu adalah orang yang bisa menguasai dirinya tatkala marah.” (HR Bukhari Muslim dan Imam Ahmad).

Pada suatu hari, Nabi melewati sekelompok kaum yang saling bergulat, maka beliau bertanya, “Apakah ini?”

Mereka menjawab, “Dia pegulat yang kuat, tidaklah seorang pun yang bergulat dengannya kecuali dia mengalahkannya.”

Kemudian beliau berkata, “Aku tunjukkan kepada kalian orang yang lebih kuat darinya, yaitu seorang yang dizhalimi namun ia menahan kemarahannya. Ia mengalahkan orang yang menzhaliminya dan mengalahkan setan yang ada pada dirinya serta mengalahkan setan yang ada pada saudaranya.” (HR Al-Bazzar).

Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman, “Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya hal demikian itu termasuk keteguhan yang kuat.” (QS As-Syura’: 43).

Jelas dari kedua hadits dan surah Al-Qur’an di atas, justru orang yang mampu menguasai dirinya saat marah adalah orang yang kuat. Bukan orang yang mengumbar amarah dengan berteriak-teriak, mencaci maki, dan sebagainya, misalnya.

Bagi mereka yang mampu menahan amarah, Allah telah menyediakan ganjaran. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa menahan kemarahannya sedangkan ia mampu untuk melakukannya, Allah Azza wa Jalla akan menyeru dia di hadapan seluruh manusia pada hari Kiamat untuk dipilihkan baginya bidadari yang dikehendakinya.” (HR Abu Daud).

Rasulullah juga bersabda, “Janganlah marah, maka bagimu adalah surga.” (Hadits shahih Al-Jami’).

Lebih dari itu semua, menahan amarah adalah perintah Nabi SAW. Dan karena itu perintah Nabi, tentu kita semua, sebagai umatnya, mesti melaksanakan.

Disebutkan dalam hadits, seorang lelaki berkata kepada Nabi SAW, “Berilah aku wasiat.”

Beliau berkata, “Janganlah marah.”

Tahap selanjutnya, setelah mampu menahan amarah, yaitu memaafkan. Allah berfirman, “Yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya secara sembunyi dan terang-terangan dan orang yang menahan kemarahan serta memaafkan orang lain, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS Ali Imran:134).

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS Al-A’raf: 199).

Mengatasi Kemarahan

Untuk mengatasi kemarahan, Islam memberikan petunjuk.

Pertama, berlindung kepada Allah dari godaan setan. Karena, di samping nafsu yang ada dalam diri kita, peran setan juga sangat dominan dalam membangkitkan amarah.

Rasulullah SAW bersabda, “Aku mengetahui satu kalimat yang, seandainya diucapkan, niscaya akan hilanglah gejolak yang ada pada diri:

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ

“Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.” (HR Bukhari-Muslim).

Kedua, diam, tidak berbicara. “Apabila salah seorang di antara kalian marah, hendaklah diam.” (HR Imam Ahmad).

Ketiga, tinggalkan tempat, berdirilah, lalu pergi.

Keempat, bersikap tenang, duduk apabila sedang berdiri, atau tidur telentang bilamana sedang duduk. Rasulullah SAW bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian marah sedangkan dia berdiri, hendaklah dia duduk, agar kemarahannya hilang. Apabila masih belum mereda, hendaklah berbaring.” (HR Abu Daud).

Kelima, berwudhu. Nabi bersabda, “Marah itu adalah bara api, maka padamkanlah dia dengan berwudhu’.” (HR. Al-Baihaqi).

Keenam, shalat. “Penghapus setiap perselisihan adalah dua raka’at (shalat sunnah).” (HR Silsilah Hadits Shahihah).

Marah yang Terpuji

Pada umumnya marah memang tercela, tapi ada pula yang terpuji. Misalnya marah karena ajaran-ajaran Allah dihinakan.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *