Kepemimpinan Spiritual: Mampukah Membuka Topeng dan Bayangan?

Posted on

Tingkat Shadow

Pada level ini, menurut Wilber, individu sangat peduli untuk mengintegrasikan atau menyatukan kembali persona atau citra diri yang tidak akurat, dengan shadow (suatu kenyataan diri yang teralienasi).

Persona di sini berarti “topeng” yang dikenakan individu ketika berhadapan dengan dunia sekelilingnya. Shadow berisi gambaran sifat individu yang buruk kualitasnya, yang bertentangan dengan kesepakatan moral masyarakat, seperti sifat iri, dengki, pengecut, curang, serakah, dsb.

Biasanya individu-individu menyadari persona, sementara shadow tersembunyi dalam ketidaksadaran individu, dan tak dikendalikan secara sadar. Menurut Judge, bila para CEO mulai menyadari shadow mereka, mulai dapat lebih efektif dalam menjalankan bisnisnya. Pada level kesadaran tingkat shadow ini juga terjadi pengenalan (penyadaran) terjadinya proyeksi-proyeksi.

Mengenai proyeksi, Jung menyatakan bahwa secara konstan individu memproyeksikan isi ketidaksadarannya kepada lingkungannya. Contohnya, seseorang mengimajinasikan rekannya memiliki sifat-sifat curang, tetapi sebenarnya sedikit sekali atau sama sekali tidak sesuai dengan sifat rekan tersebut yang sebenarnya.

Hal ini menunjukkan, orang tersebut tengah memproyeksikan shadow berupa sifat curang yang tersembunyi dalam dirinya sendiri.

Bila seorang CEO mulai mengenali adanya kesenjangan antara persona luarnya (yang penting untuk kesuksesan manajerial) dengan shadow yang dimiliki, ia mulai lebih jernih (tidak mengalami bias) dalam pemrosesan informasi.

Selanjutnya, ketika perspektif seorang CEO menjadi lebih luas/utuh, ia mulai berbagi pemikiran dengan orang lain di dalam perusahaan, dan mulai mampu menjadi agen perubahan transformasional positif yang efektif di dalam bisnisnya.

Adanya proyeksi seperti dijelaskan di atas, dan juga adanya represi (menekan dorongan ke bawah sadar), dan regresi (menggunakan cara-cara mengatasi kecemasan seperti ketika masa kanak-kanak) dapat menghambat pengenalan shadow, sehingga keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki tidak memadai atau usang.

Contohnya, bila seorang CEO memproyeksikan kesalahan kepada para manajer atau karyawan yang lain, proyeksi semacam itu membatasi kemungkinan untuk dapat merumuskan pemahaman bersama dan memetakan kembali persoalan yang ada.

Sama halnya bila ia hanya memfokuskan pada aspek-aspek positif perubahan organisasi, dan gagal mengenali adanya kecemasan atau frustrasi yang muncul pada karyawan karena adanya perubahan, ini mencerminkan adanya represi emosi dan intelektual. Selain itu, bila CEO hanya bersandar pada kekuatan dan kemampuan inti yang ada, perilaku ini mencerminkan terjadinya regresi organisasi.

Selanjutnya, proyeksi, represi, dan regresi yang tidak dikenali (disadari) ini akan menjadi hambatan bagi efektivitas kepemimpinan dan perkembangan kapasitas kepemimpinan sang CEO pada masa-masa selanjutnya.

Karakter dan potensi seorang CEO teraktualisasi dan meningkat bila ia mengenali dan menghadapi aspek-aspek di dalam kepribadiannya yang kurang diperkembangkan.

Bila seorang CEO mulai mengintegrasikan persona-persona dengan shadow, mengenali proyeksi negatif maupun positif, kecenderungan untuk melakukan represi dan regresi, ia akan bergerak lebih maju ke kesadaran tingkat ego.

Tingkat Ego

Pada level ini individu menyadari bahwa ego adalah tempat kedudukan kendali aktivitas yang disengaja, dan tubuh meliputi aktivitas yang tidak disengaja (pencernaan, metabolisme, pertumbuhan, bernapas, dsb, merupakan aktivitas yang tidak disengaja).

Bila seseorang mulai terkoneksi dengan dunia aktivitas tubuh secara total, mengalami transendensi ke tingkat ego, integrasi tubuh dan ego dirasakan sebagai realitas yang ”lebih mendalam” daripada masing-masing secara terpisah.

Pendakian menuju kesadaran tingkat ego mencakup perluasan identitas seseorang dari ego itu sendiri menuju organisme secara total. Individu-individu yang berhasil mengintegrasikan dan memahami keterkaitan tubuh/jiwa, memonitor dan mengelola pengaruh timbal balik antara keduanya.

Pada level ini individu menyadari bahwa stres dapat memengaruhi fisiologi (tubuh). Stresor (penyebab stres) dapat berasal dari dalam diri sendiri (misalnya, dari ketakutan) maupun dari luar diri sendiri (misal, dari suara bising atau lingkungan yang chaos). Dua jenis stresor tersebut dapat mempercepat detak jantung, pencernaan lambat, dilatasi pupil mata, meningkatkan perspirasi, dan meningkatkan gejolak secara umum pada tubuh seseorang.

CEO yang sukses dengan kebajikan bisnisnya, pada umumnya berhasil dalam menemukan makna egois di dalam hidup. Contohnya, sepanjang kesuksesan kinerja perusahaan, ganjaran berupa uang, kemewahan seperti rumah mahal, mobil, status sosial komunitas, dsb, dapat memberikan makna egois dan kepuasan kepada sang CEO.

Namun, penemuan makna eksistensial dalam hidup menganjurkan untuk bergerak melebihi makna egois, yaitu bila seseorang mulai menemukan bahwa aktivitas yang disengaja (dikendalikan oleh ego) dan yang tidak disengaja (dalam tubuh) adalah satu kesatuan, terjadi di dalam organisme yang sama.

Penemuan makna eksistensial dalam hidup berarti menemukan bahwa proses-proses hidup itu sendiri (bukan hanya hasil-hasil berupa materi atau status sosial) dapat menghasilkan kegembiraan.

Quick dkk mendefinisikan kesehatan eksekutif sebagai kesejahteraan fisik, psikologis, spiritual, dan etik dari para manajer. Para CEO yang peka dengan keterkaitan timbal balik jiwa/tubuh cenderung memonitor pikiran-pikirannya sendiri dan efeknya terhadap fisiologi dan emosi.

Idealnya, mereka mengenali dan mengambil manfaat dari berbagai terapi yang mampu meredakan emosi-emosi mereka dan dengan demikian menjadi leading dalam pemecahan masalah tanpa mengalami gangguan emosi. Memahami keterkaitan antara jiwa dan tubuh akan memunculkan kesadaran akan hubungan antara diet, sikap, dan efeknya terhadap pemecahan masalah.

Mengenai terapi-terapi yang bermanfaat untuk meningkatkan integrasi jiwa/tubuh, secara garis besar dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori: terapi mind-body (konseling, meditasi, kelompok suportif, biofeedback, dsb), terapi gerakan (yoga, qigong, dsb) dan kerja tubuh (terapi dansa, refleksologi, dsb), serta herbal remedies (pengobatan herbal, pengobatan tradisional Cina, dsb).

Pada level kesadaran selanjutnya, individu mulai menyadari pengaruh sosial dengan efeknya terhadap sikap dan pengambilan keputusan.

Tingkat Biosocial Bands

Biosocial Bands merefleksikan pengenalan (kesadaran) akan keterkaitan timbal balik antara aspek psikologis seseorang dengan struktur sosial. Biosocial Bands merupakan landasan bagi kesadaran tingkat eksistensial.
Area kesadaran ini menghadirkan isu-isu sosial dan nilai-nilai yang terkandung dalam bahasa, pandangan-pandangan agama, tabu-tabu (larangan-larangan) dalam masyarakat, dsb.

Biosocial Bands mewujudkan suatu jaringan kerja atau matriks konvensional pembedaan-pembedaan. Hal tersebut menyatakan bagaimana masyarakat mengonsep simbol-simbol, peta-peta, dan akar dari ide-ide: bagaimana masyarakat membagi-bagi dan menggambarkan realitas.

Pada dasarnya pembedaan sosial atau kategorisasi semacam itu bersifat artifisial (tidak sesuai realitas). Wilber mengingatkan bahwa konsep-konsep dan ide-ide kita tidak mencerminkan realitas seperti yang kita kira, dan oleh sebab itu jangan mengusung makna yang sebenarnya tidak sesuai dengan realitas.
Pemahaman istilah ”sukses” dan ”gagal” di kalangan CEO, misalnya. Kegagalan untuk memahami dampak dari Biosocial Bands dalam hal ini dapat menghasilkan kekecewaan di antara CEO yang gagal mencapai penghargaan dan kebanggan industri, sosial, atau profesional.

Dorongan bertubi-tubi untuk menjadi ”yang terbesar” atau ”nomor satu” dalam suatu bidang industri, semata-mata hanya demi menjadi ”nomor satu”, dapat menyebabkan seorang CEO mengambil langkah-langkah yang kurang rasional, dan mengabaikan strategi-strategi yang lebih rasional dari sisi keuntungan dan kesejahteraan para shareholder.

Dengan demikian jelas bahwa usaha yang berlebihan untuk terkenal ”sukses” secara sosial atau kultural memiliki dampak negatif terhadap objektivitas pengambilan keputusan.

Dalam bisnis, Biosocial Bands merupakan sumber ”praktik industri” yang secara esensial merupakan kesepakatan sosial mengenai norma-norma industri.

Kemampuan CEO untuk melihat jauh melampaui Biosocial Bands dan pikiran-pikiran konvensional menghasilkan prestasi bisnis yang belum pernah ada. Pimpinan eksekutif ini mencapai sukses karena mengenali hambatan-hambatan strategis dalam praktik industri, dan kemudian mampu merumuskan strategi yang inovatif.
Tingkat kesadaran selanjutnya merupakan kemahiran seseorang akan suatu perasaan total being di dalam suatu konteks situasi, yang disebut sebagai kesadaran tingkat eksistensial.