Kisah Nashrudin menjadi imam shalat Jum`at

Posted on

Hari Jum`at itu, Nashrudin menjadi imam shalat Jum`at. Namun belum lama ia berkhutbah, dilihatnya para jama’ah terkantuk-kantuk, dan bahkan sebagian tertidur dengan lelap. Maka berteriaklah sang mullah, “Api! Api! Api!”

Segera saja, seisi masjid terbangun, terbelalak dengan pandangan kaget, menoleh kiri-kanan. Sebagian ada yang langsung bertanya, “Di mana apinya?”

Nashrudin meneruskan khutbahnya, seolah tak acuh kepada yang bertanya. “Api yang dahsyat di neraka, bagi mereka yang lalai dalam beribadah.”

***

Di atas dikisahkan, saat sang khatib, Nashrudin, sedang berkhutbah, banyak jama’ah yang terkantuk-kantuk, bahkan tertidur. Lalu, bagaimana hukumnya? Sahkah shalat Jum`at mereka?

Secara hukum, bila seseorang telah ikut shalat Jum’at bersama imam, meskipun ia masbuq (masbuq artinya orang yang tertinggal dari melakukan takbiratul ihram bersama imam dalam shalat jama’ah), sah baginya shalat Jum`at-nya apabila masih mendapatkan ruku` bersama imam pada rakaat yang kedua pada shalat Jum`at yang sah, yakni shalat Jum`at yang terpenuhi syarat rukunnya.

Adapun dalam hal tidur pada saat khutbah Jum`at, dalam kitab Nihayah az-Zayn fi Irsyad al-Mubtadi’in, karya Imam An-Nawawi Al-Bantani, terbitan Daar al-Kutub al-Islamiyah, 2008, halaman 163, disebutkan, “Dan yang dimaksud dengan memperdengarkan khutbah kepada mereka (empat puluh orang) dengan pasti, yakni dengan mengeraskannya khathib suaranya sekira-kira mendengarnya hadirin bila mereka menyimak.

Adapun mendengarkannya oleh mereka (empat puluh orang), maka adalah dengan kira-kira, sekalipun mereka tidak mendengarkannya secara pasti karena adanya suara gaduh, atau tidur yang ringan, dan lain halnya dengan karena adanya ketulian, jarak yang jauh, atau tidur yang berat….”

Dengan penjelasan di atas, orang yang mengantuk atau tertidur, yang tidak membatalkan wudhu, tetap sah shalat Jum`at-nya.

Adapun tidur yang karenanya tidak batal wudhu sehingga tetap sah shalatnya adalah yang memenuhi syarat-syarat berikut, sebagaimana disebutkan, di antaranya, dalam kitab at-Taqrirat as-Sadidah fi al-Masail al-Mufidah, karya Sayyid Hasan bin Ahmad Al-Kaf, terbitan Dar al-`Ulum al-Islamiyah, cetakan keempat, 2006, halaman 101, yaitu sebagai berikut:

“Pertama, menetapkan pantatnya di atas bumi (tempat duduknya) di mana pantat (lubang dubur)-nya itu menempel dengan bumi (tempat duduk) sekira-kira tidak mungkin angin dapat keluar darinya.

Kedua, orang yang tidur itu yang memiliki postur tubuh yang sedang, dalam arti tidak kegemukan dan tidak pula terlalu kurus.

Ketiga, bangun dalam keadaan di tempat ia tertidur (tidak berubah posisinya).

Keempat, tidak ada orang ma`shum, menurut Imam Ar-Ramli, memberitahukan keluarnya angin darinya di saat ia tidur. Namun, menurut Imam Ibnu Hajar, cukup orang adil yang memberitahukannya.” Maksudnya, bila sesorang yang adil memberitahukan bahwa ia keluar angin saat tertidur, wajib diterima pemberitahuannya itu dan batal wudhunya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *